Penulis: Ayu Rahmah Hidayah
Kolam embun di kedua bola mata cokelatnya terpancar menepis
gulatan emosiku. Seakan berusaha menyelinapkan harapan dari kegundahan yang
semakin kuat menyergapku. Peluh dingin terjun bebas menjulur seluruh tubuhku
hingga meluruhkan segenap pertahanan yang coba kubangun untuk menyandingi
ketenangan yang diletakkan pada pandangan lembutnya. Tapi tetap saja gagal
untuk menahan laju aliran darahku yang kini kian menanjak tinggi.
Ah, kenapa pula dia masih bisa tersenyum tanpa beban dengan
menampilkan lesung pipit itu. Aku semakin gelisah menanti detik yang terasa
semakin cepat berpindah tempat. Setengah jam lagi dia akan menghadapi sidang
tapi sejak tiga jam menunggu kenapa pula hanya degup jantungku yang terdengar
begitu kencang berdetak. Sedangkan dia yang akan menjalani sidang bisa bersikap
santai seperti itu!
Aku mencoba memejamkan mata, berharap langkah yang kami tempuh
sebentar lagi akan dimudahkan oleh-Nya. Ya, kami ingin Dia memberikan
berkah-Nya pada makhluk yang mau menjalankan perintah-Nya tanpa terpaksa.
Menjalankan separuh sunnah kekasih-Nya.
“Saudara Achmad Rovaldo Pramuja! Kasus Anda akan mulai
disidangkan, silahkan masuk ke ruang sidang!” terdengar perintah suara wanita
paruh baya bagian administrasi yang mengurus berkas-berkas sidang Roval tadi
pagi.
Dia mengangguk dan tersenyum mantap pada ibunya dan omku.
Kulirik Roval yang ternyata mendelikku sekilas. Lalu melirikku sekilas, “Doakan
aku, ya… Key! Aku pasti berusaha keras agar keinginan kita terkabul! Semangat!!”
ucapnya sambil mengacungkan kepalan tangannya ke udara. Aku mengangkat wajah
mencoba tersenyum. Terenyuh dengan sikap cowok di depanku ini. Aku mengangguk
dan kami pun masuk ruang persidangan dengan pikiran masing-masing.
Roval berjalan paling depan yang disambung dengan langkahku.
Kulihat dia berjalan dengan penuh mantap seakan dia sudah tak sabar meraih masa
depan yang terbentang di depan matanya. Ya, memang masa depan yang ingin
sebentar lagi dia rengkuh. Aku masih tak percaya akhirnya kami berada di ruang
sidang ini hanya untuk memohon dipersetujukannya seorang remaja laki-laki
berumur 17 tahun untuk menikah dengan…ku. Seorang gadis yang sudah menginjak
kepala dua.
Aku menoleh ke samping kananku, seorang wanita paruh baya yang
masih sangat terjaga kecantikannya. Ibu Roval. Ibu Roval bersedia datang
jauh-jauh dari Kalimantan bersama tanteku untuk menyaksikan akad nikah kami
bila persidangan ini berhasil. Sedangkan ayah Roval dan ibuku masih belum
terketuk pintu hati mereka untuk menjadi saksi dalam hal yang sangat penting
bagiku dan Roval nanti. Mereka masih belum bisa menerima keputusan yang kami
buat.
Meski sudah segudang cara telah aku dan Roval lakukan untuk
menarik anggukan kepala mereka. Tapi sudahlah, kami tetap melangkah maju meski
ada batu yang menganjal langkah kami. Syukurlah om Sandi bersedia menggantikan
posisi almarhum ayahku, sebagai wali bagiku.
“Anda yang bernama Saudara Achmad Rovaldo Pramuja?” tanya hakim
ketua dengan alis yang hampir tertaut.
“Benar, Pak!”
“Jadi… saudara yang ingin menikah?” tanya hakim ketua berambut
cepak itu yang kutangkap seperti mengejek Roval.
“Iya, Pak!”
“Anda tahu kalau umur Anda belum layak untuk menikah, bukan?
Jadi apa alasan Anda untuk ingin menikah secepat ini? Tidak sedang terjadi
sesuatu, kan?”
Suasana yang semula mencekam kini mati suri setelah hakim ketua
menyelesaikan kalimat tanyanya. Kepalaku menegak keras. Apa maksudnya? Dia
pikir kami ingin menikah gara-gara kecelakaan? Tidak sopan!! Umpatku mengerang
tapi hanya bisa terdengar di gua hati. Entah apa reaksi Roval mendengar tanya
hakim sengak itu. Aku tak bisa melihat ekspresi wajahnya karena dia duduk
membelakangi kami.
“Tentu saja bukan, Pak,” suara lembut menenangkan menyeruak dari
mulut Roval. Aku menghembuskan nafas kelegaan mendengarnya. Roval…. inilah
salah satu kelebihannya yang semakin menguatkan niatku. “Saya berniat menikah
karena saya ingin mencintai seseorang dengan cara yang halal, Pak! “
Hening. Aku bisa merasakan Roval sedang mengatur nafas dengan
baik. “Kalaupun bapak dan ibu sekalian tidak mempercayai ucapan saya, kami siap
untuk dites sekarang juga. Dan saya yakin anda sekalian akan merasa malu telah
menanyakan hal itu. Saya mengikuti sidang ini memang karena umur saya belum 18
tahun yang membolehkan saya menikah tapi apa salah bila saya ingin
mempersunting gadis yang saya cintai tanpa perlu mengulur-ngulur waktu lagi?
Saya ingin menjaga hati saya agar tidak tergores kotoran karena saya mencintai
seseorang. Lalu apa salah bila saya berusaha untuk memenuhi tuntunan yang
halal? Umur muda belum tentu pikiran dan kondisi saya masih kekanakan kan, Pak?”
Aku ternganga. Mungkin juga semua yang mendengar kata-kat Roval
dengan tutur mantap itu. Kupicingkan mata pada hakim ketua yang terlihat
manggut-manggut tak karuan. Sesekali dia menoleh dua hakim di kiri dan
kanannya. Entah bingung atau malah tidak mengerti dengan jawaban Roval.
“E….baiklah kami percaya percaya. Tapi apakah kamu benar-benar siap dengan
semua resikonya? Menikah bukan cuman melanggengkan perasaan kamu saja. Ada
banyak tantangan yang harus kamu hadapi, Nak!”
“Tidak ada suatu keputusan yang tidak meninggalkan kesan apapun
termasuk tantangan seperti yang bapak bilang. Itupun sudah saya pikir sematang
mungkin dan hasilnya di sinilah saya sekarang, Pak!”
Selang beberapa menit suara semilir angin yang kembali berperan.
Lalu berganti desah berbisik tak jelas dan mempermainkan mata seolah berpikir
atas argumen Roval yang makin tajam saja. Aku kembali menunduk menunggu jawaban
atas pengakuan Roval yang aku sendiri tidak menyangka akan sebagus itu. Menanti
jawaban akan dilangsungkan atau tidaknya ijab untuk mengesahkan hubungan kami
sebenarnya.
***
Aku bertemu kembali dengan sosok bernama Roval itu ketika aku
menggelar bedah buku atas novel perdanaku yang baru saja terbit di toko buku
terbesar Jogjakarta. Terlihat kebetulan memang tapi itulah yang terjadi padaku
dua bulan lalu. Aku kembali dipertemukan dengan adik kelasku yang sumber
inspirasiku untuk menulis novel tersebut.
Novel yang kurampungkan selama sebulan dengan judul “Tersemat
Hati buat Brondong” ternyata sangat laris manis di pasaran. Aku sangat senang
karena tulisanku yang berasal dari buku harian itu diapresiasikan juga oleh
banyak orang. Sehingga aku pun mulai kebanjiran tawaran untuk bedah novel
dibeberapa kota seperti Jogja, Semarang, Surabaya, dan kota tempatku singgah
untuk menutut ilmu Solo. Dan Jogja adalah kota pertama acaraku itu karena di
sinilah penerbit tempat novelku diterbitkan.
Dan aku sungguh tak menyangka ketika penglihatanku menangkap
seseorang yang duduk di kursi para peserta bedah novelku. Bukan penulis idola
atau penyanyi ngetop kesukaanku yang duduk di antara banyaknya peserta yang
berpastisipasi. Tapi…. Roval?!! Aku bahkan harus berkedip dan menggosok mata
berkali-kali saat dia dengan gaya tenangnya mengacungkan tangan padaku pada
sesi tanya jawab.
“Kalau saya boleh tahu, apakah tokoh utama brondong dalam novel
Anda memang ada orangnya di dunia nyata?” Tanyanya dengan memoles senyum
menawan. Ugh! Tenggoranku langsung tersedak saat dia bertanya seperti itu.
Kalimat yang berhasil membungkam mulutku dengan gundam raksasa seandainya saja
moderator tidak menyenggol bahuku.
Aku bahkan sampai gemetar sebelum menjawab pertanyaannya yang
sungguh berat, “I…ya.. dia ada… dia nyata…” kata itu yang sanggup aku katakanan
sambil menahan lanjutan kalimat lain yang ingin ikut meluncur dengan bebas: Dan
dia itu kamu!
Selesai acara bedah novelku, Roval pun menghampiriku untuk
meminta tanda tangan di novelku yang barusan saja dia beli. Ya Tuhan, dia
membeli novelku! Dia akan membaca cerita tentang kisahku saat SMA yang
tergila-gila dengan brondong ini!
Aku tak sanggup memikirkan bagaimana reaksinya ketika dia
membaca tulisanku saat aku menceritakan kebiasaannya yang selalu membawa bekal
makanan ke sekolah, ketika dia selalu pulang paling akhir karena menunggu
jemputan supirnya yang suka ngaret, kesukaannya melahap semua buku medis yang
terpajang manis di perpustakaan sekolah, kebenciannya saat melihat ada orang
yang buang sampai sembarangan, hobinya yang suka bermain tenis dengan guru
olahraganya, atau ketegasannya saat menjadi ketua osis termuda yang digilai
kaum hawa di sekolahku.
Semuanya, semua tentangnya aku tuliskan. Aku tak pernah
melewatkan satu kejadian pun tentang dia karena hanya itu yang bisa aku lakukan
sebagai pengagum rahasianya. Seperti Fatimah Az-Zahra yang diam-diam mengagumi
Ali bin Abi Thalib. ra Dan sekarang, dia akan membaca di novelku itu! Mengapa
kejadian seperti ini tak pernah terpikirkan olehku?
Mukaku pun merah padam dan tanganku gemetaran ketika menorehkan
tanda tangan di lembar pertama novelku yang dia beli. Aku tiba-tiba berharap
semoga dia tidak bisa membaca membaca novelku karena novel itu hilang raib
tanpa bekas atau diambil temannya yang tak bertanggung jawab. Aku sangat malu
bila dia sampai membaca ending novelku yang menceritakkan kalau aku dan dia
akhirnya bisa bersama karena sama-sama saling mencintai.
“Selamat ya udah punya novel….” Sapa suara bening khasnya. Aku
tersentak ternyata dia masih ada di sekitarku yang baru saja selelsai
menandatangani dan berfoto bareng dengan pembaca novelku. Aku mulai tergagap
lagi dan nyengir kuda lah yang bisa kulukiskan di bibirku.
“Kamu…kuliah di sini?” akhirnya bisa juga aku bicara dengan nada
biasa meski letupan emosi masih menjajah hatiku.
“Iya… di UGM, FK. Kalau Kakak di mana?”
Aku merengut mendengar jawab dan tanyanya. Pertama, karena dia
kuliah di kedokteran dimana aku gagal dua kali untuk bisa tembus di sana.
Kedua, dia masih memanggilku kakak meski sekarang kami seangkatan karena aku
mundur setahun agar bisa ikut SNMPTN lagi untuk mencoba masuk di kedokteran.
Tapi sayangnya nasib berkata lain, mungkin aku lebih baik tidak menjadi dokter
daripada nantinya akan membawa banyak mudarat bagi hidupku selanjutnya.
Aku juga bisa maklum dia bisa tembus di kedokteran. Dia memiliki
otak yang sangat cerdas malah jenius. Di usia yang masih 14 tahun dia sudah
menginjak bangku kelas X SMA tepat ketika aku kelas kelas XII SMA dimana umurku
saat itu sudah 18 tahun. Berdasarkan pengamatan temanku ternyata dia memang
murid jenius yang menjalani sistem akselerasi. Dia juga seorang model sekolah
yang wajah indo-korea sukses membuat mata kaum hawa tak bisa berkedip
menatapnya. Duh! Aku jadi kembali teringat di saat aku juga tak bisa berhenti
untuk selalu mengikuti polah tingkahnya.
“Aku kuliah di Solo. Fisioterapi. Kita seangkat lho, aku mundur
setahun jadi gak perlu panggil aku dengan sebutan kakak lagi, he….”
“Oh ya? Begitu… by the way tadi aku gak nyangka bisa ketemu lagi
sama ka eh kamu, he… Ternyata sekarang jadi novelis ya? Keren! Syukur banget
tadi aku ke sini jadinya bisa ikut bedah novel kamu. Aku tertarik baca sinopsis
ceritanya….” aku mengangguk pura-pura mengerti padahal dalam hati berkecamuk
rasa yang sedari tadi belum reda juga. “Sepertinya kisah kamu hampir mirip
dengan yang aku alami, bikin aku tambah penasaran….”
Blum! Mirip gondam yang kini menekan batok kepalaku. Entah dia
tidak bermaksud menyindir atau memang dia sudah tahu kalau novelku menceritakan
siapa. Yang jelas sejak saat itu kami menjadi sangat dekat karena dia terus
memuji novelku. Pengakuannya, dia seakan kembali saat masa-masa SMA terutama
tokoh utama wanita yang persis seperti gadis yang dia suka. Aku hanya meringis
karena tokoh utama wanita itu sebenarnya adalah diriku sendiri. Sempat
melambungkan harapanku kalau dia sebenarnya malah menyukaiku sejak SMA. Tapi
aku buru-buru sadar diri. Bagaimana mungkin anak jenius bintang sekolah itu
bisa suka gadis macam aku yang tak bisa tenar dalam bidang apapun?
Lalu kami pun semakin akrab meskipun intensitas pertemuan hanya
seminggu sekali. Kadang dia yang datang ke Solo atau aku yang bertandang ke
Jogja agar kami bisa berdiskusi tentang novel atau materi medis. Aku sangat
senang sampai suatu senja yang cerah di depan kostku dia menyatakan sesuatu
yang hampir membuat system kelistrikan otakku naik berkali-kali lipat.
“Aku ingin kita menikah!” ucapnya dengan gaya khasnya yang
santai dan tetap tenang.
2 comments :
waaaaaaaaaaaa upa chan!!!!!
baca cerpennya bikin cenat cenut >.<
alurnya keren, wah bentar lagi upa jadi novelis nih :D
Ceritanya emang keren dili sendili..!
makanya up posting di blog upa.. :D
tpi ini bukn tulisan up, tu ad nama penulisnya di atas :ayu rahmah hidayah.. :)
Post a Comment