Pages

8 August 2011

Tersemat Hati buat Brondong (Cerpen : 1/2)




Penulis: Ayu Rahmah Hidayah



Kolam embun di kedua bola mata cokelatnya terpancar menepis gulatan emosiku. Seakan berusaha menyelinapkan harapan dari kegundahan yang semakin kuat menyergapku. Peluh dingin terjun bebas menjulur seluruh tubuhku hingga meluruhkan segenap pertahanan yang coba kubangun untuk menyandingi ketenangan yang diletakkan pada pandangan lembutnya. Tapi tetap saja gagal untuk menahan laju aliran darahku yang kini kian menanjak tinggi.
Ah, kenapa pula dia masih bisa tersenyum tanpa beban dengan menampilkan lesung pipit itu. Aku semakin gelisah menanti detik yang terasa semakin cepat berpindah tempat. Setengah jam lagi dia akan menghadapi sidang tapi sejak tiga jam menunggu kenapa pula hanya degup jantungku yang terdengar begitu kencang berdetak. Sedangkan dia yang akan menjalani sidang bisa bersikap santai seperti itu!
Aku mencoba memejamkan mata, berharap langkah yang kami tempuh sebentar lagi akan dimudahkan oleh-Nya. Ya, kami ingin Dia memberikan berkah-Nya pada makhluk yang mau menjalankan perintah-Nya tanpa terpaksa. Menjalankan separuh sunnah kekasih-Nya.
“Saudara Achmad Rovaldo Pramuja! Kasus Anda akan mulai disidangkan, silahkan masuk ke ruang sidang!” terdengar perintah suara wanita paruh baya bagian administrasi yang mengurus berkas-berkas sidang Roval tadi pagi.
Dia mengangguk dan tersenyum mantap pada ibunya dan omku. Kulirik Roval yang ternyata mendelikku sekilas. Lalu melirikku sekilas, “Doakan aku, ya… Key! Aku pasti berusaha keras agar keinginan kita terkabul! Semangat!!” ucapnya sambil mengacungkan kepalan tangannya ke udara. Aku mengangkat wajah mencoba tersenyum. Terenyuh dengan sikap cowok di depanku ini. Aku mengangguk dan kami pun masuk ruang persidangan dengan pikiran masing-masing.
Roval berjalan paling depan yang disambung dengan langkahku. Kulihat dia berjalan dengan penuh mantap seakan dia sudah tak sabar meraih masa depan yang terbentang di depan matanya. Ya, memang masa depan yang ingin sebentar lagi dia rengkuh. Aku masih tak percaya akhirnya kami berada di ruang sidang ini hanya untuk memohon dipersetujukannya seorang remaja laki-laki berumur 17 tahun untuk menikah dengan…ku. Seorang gadis yang sudah menginjak kepala dua.
Aku menoleh ke samping kananku, seorang wanita paruh baya yang masih sangat terjaga kecantikannya. Ibu Roval. Ibu Roval bersedia datang jauh-jauh dari Kalimantan bersama tanteku untuk menyaksikan akad nikah kami bila persidangan ini berhasil. Sedangkan ayah Roval dan ibuku masih belum terketuk pintu hati mereka untuk menjadi saksi dalam hal yang sangat penting bagiku dan Roval nanti. Mereka masih belum bisa menerima keputusan yang kami buat.
Meski sudah segudang cara telah aku dan Roval lakukan untuk menarik anggukan kepala mereka. Tapi sudahlah, kami tetap melangkah maju meski ada batu yang menganjal langkah kami. Syukurlah om Sandi bersedia menggantikan posisi almarhum ayahku, sebagai wali bagiku.
“Anda yang bernama Saudara Achmad Rovaldo Pramuja?” tanya hakim ketua dengan alis yang hampir tertaut.
“Benar, Pak!”
“Jadi… saudara yang ingin menikah?” tanya hakim ketua berambut cepak itu yang kutangkap seperti mengejek Roval.
“Iya, Pak!”
“Anda tahu kalau umur Anda belum layak untuk menikah, bukan? Jadi apa alasan Anda untuk ingin menikah secepat ini? Tidak sedang terjadi sesuatu, kan?”
Suasana yang semula mencekam kini mati suri setelah hakim ketua menyelesaikan kalimat tanyanya. Kepalaku menegak keras. Apa maksudnya? Dia pikir kami ingin menikah gara-gara kecelakaan? Tidak sopan!! Umpatku mengerang tapi hanya bisa terdengar di gua hati. Entah apa reaksi Roval mendengar tanya hakim sengak itu. Aku tak bisa melihat ekspresi wajahnya karena dia duduk membelakangi kami.
“Tentu saja bukan, Pak,” suara lembut menenangkan menyeruak dari mulut Roval. Aku menghembuskan nafas kelegaan mendengarnya. Roval…. inilah salah satu kelebihannya yang semakin menguatkan niatku. “Saya berniat menikah karena saya ingin mencintai seseorang dengan cara yang halal, Pak! “
Hening. Aku bisa merasakan Roval sedang mengatur nafas dengan baik. “Kalaupun bapak dan ibu sekalian tidak mempercayai ucapan saya, kami siap untuk dites sekarang juga. Dan saya yakin anda sekalian akan merasa malu telah menanyakan hal itu. Saya mengikuti sidang ini memang karena umur saya belum 18 tahun yang membolehkan saya menikah tapi apa salah bila saya ingin mempersunting gadis yang saya cintai tanpa perlu mengulur-ngulur waktu lagi? Saya ingin menjaga hati saya agar tidak tergores kotoran karena saya mencintai seseorang. Lalu apa salah bila saya berusaha untuk memenuhi tuntunan yang halal? Umur muda belum tentu pikiran dan kondisi saya masih kekanakan kan, Pak?”
Aku ternganga. Mungkin juga semua yang mendengar kata-kat Roval dengan tutur mantap itu. Kupicingkan mata pada hakim ketua yang terlihat manggut-manggut tak karuan. Sesekali dia menoleh dua hakim di kiri dan kanannya. Entah bingung atau malah tidak mengerti dengan jawaban Roval. “E….baiklah kami percaya percaya. Tapi apakah kamu benar-benar siap dengan semua resikonya? Menikah bukan cuman melanggengkan perasaan kamu saja. Ada banyak tantangan yang harus kamu hadapi, Nak!”
“Tidak ada suatu keputusan yang tidak meninggalkan kesan apapun termasuk tantangan seperti yang bapak bilang. Itupun sudah saya pikir sematang mungkin dan hasilnya di sinilah saya sekarang, Pak!”
Selang beberapa menit suara semilir angin yang kembali berperan. Lalu berganti desah berbisik tak jelas dan mempermainkan mata seolah berpikir atas argumen Roval yang makin tajam saja. Aku kembali menunduk menunggu jawaban atas pengakuan Roval yang aku sendiri tidak menyangka akan sebagus itu. Menanti jawaban akan dilangsungkan atau tidaknya ijab untuk mengesahkan hubungan kami sebenarnya.
***
Aku bertemu kembali dengan sosok bernama Roval itu ketika aku menggelar bedah buku atas novel perdanaku yang baru saja terbit di toko buku terbesar Jogjakarta. Terlihat kebetulan memang tapi itulah yang terjadi padaku dua bulan lalu. Aku kembali dipertemukan dengan adik kelasku yang sumber inspirasiku untuk menulis novel tersebut.
Novel yang kurampungkan selama sebulan dengan judul “Tersemat Hati buat Brondong” ternyata sangat laris manis di pasaran. Aku sangat senang karena tulisanku yang berasal dari buku harian itu diapresiasikan juga oleh banyak orang. Sehingga aku pun mulai kebanjiran tawaran untuk bedah novel dibeberapa kota seperti Jogja, Semarang, Surabaya, dan kota tempatku singgah untuk menutut ilmu Solo. Dan Jogja adalah kota pertama acaraku itu karena di sinilah penerbit tempat novelku diterbitkan.
Dan aku sungguh tak menyangka ketika penglihatanku menangkap seseorang yang duduk di kursi para peserta bedah novelku. Bukan penulis idola atau penyanyi ngetop kesukaanku yang duduk di antara banyaknya peserta yang berpastisipasi. Tapi…. Roval?!! Aku bahkan harus berkedip dan menggosok mata berkali-kali saat dia dengan gaya tenangnya mengacungkan tangan padaku pada sesi tanya jawab.
“Kalau saya boleh tahu, apakah tokoh utama brondong dalam novel Anda memang ada orangnya di dunia nyata?” Tanyanya dengan memoles senyum menawan. Ugh! Tenggoranku langsung tersedak saat dia bertanya seperti itu. Kalimat yang berhasil membungkam mulutku dengan gundam raksasa seandainya saja moderator tidak menyenggol bahuku.
Aku bahkan sampai gemetar sebelum menjawab pertanyaannya yang sungguh berat, “I…ya.. dia ada… dia nyata…” kata itu yang sanggup aku katakanan sambil menahan lanjutan kalimat lain yang ingin ikut meluncur dengan bebas: Dan dia itu kamu!
Selesai acara bedah novelku, Roval pun menghampiriku untuk meminta tanda tangan di novelku yang barusan saja dia beli. Ya Tuhan, dia membeli novelku! Dia akan membaca cerita tentang kisahku saat SMA yang tergila-gila dengan brondong ini!
Aku tak sanggup memikirkan bagaimana reaksinya ketika dia membaca tulisanku saat aku menceritakan kebiasaannya yang selalu membawa bekal makanan ke sekolah, ketika dia selalu pulang paling akhir karena menunggu jemputan supirnya yang suka ngaret, kesukaannya melahap semua buku medis yang terpajang manis di perpustakaan sekolah, kebenciannya saat melihat ada orang yang buang sampai sembarangan, hobinya yang suka bermain tenis dengan guru olahraganya, atau ketegasannya saat menjadi ketua osis termuda yang digilai kaum hawa di sekolahku.
Semuanya, semua tentangnya aku tuliskan. Aku tak pernah melewatkan satu kejadian pun tentang dia karena hanya itu yang bisa aku lakukan sebagai pengagum rahasianya. Seperti Fatimah Az-Zahra yang diam-diam mengagumi Ali bin Abi Thalib. ra Dan sekarang, dia akan membaca di novelku itu! Mengapa kejadian seperti ini tak pernah terpikirkan olehku?
Mukaku pun merah padam dan tanganku gemetaran ketika menorehkan tanda tangan di lembar pertama novelku yang dia beli. Aku tiba-tiba berharap semoga dia tidak bisa membaca membaca novelku karena novel itu hilang raib tanpa bekas atau diambil temannya yang tak bertanggung jawab. Aku sangat malu bila dia sampai membaca ending novelku yang menceritakkan kalau aku dan dia akhirnya bisa bersama karena sama-sama saling mencintai.
“Selamat ya udah punya novel….” Sapa suara bening khasnya. Aku tersentak ternyata dia masih ada di sekitarku yang baru saja selelsai menandatangani dan berfoto bareng dengan pembaca novelku. Aku mulai tergagap lagi dan nyengir kuda lah yang bisa kulukiskan di bibirku.
“Kamu…kuliah di sini?” akhirnya bisa juga aku bicara dengan nada biasa meski letupan emosi masih menjajah hatiku.
“Iya… di UGM, FK. Kalau Kakak di mana?”
Aku merengut mendengar jawab dan tanyanya. Pertama, karena dia kuliah di kedokteran dimana aku gagal dua kali untuk bisa tembus di sana. Kedua, dia masih memanggilku kakak meski sekarang kami seangkatan karena aku mundur setahun agar bisa ikut SNMPTN lagi untuk mencoba masuk di kedokteran. Tapi sayangnya nasib berkata lain, mungkin aku lebih baik tidak menjadi dokter daripada nantinya akan membawa banyak mudarat bagi hidupku selanjutnya.
Aku juga bisa maklum dia bisa tembus di kedokteran. Dia memiliki otak yang sangat cerdas malah jenius. Di usia yang masih 14 tahun dia sudah menginjak bangku kelas X SMA tepat ketika aku kelas kelas XII SMA dimana umurku saat itu sudah 18 tahun. Berdasarkan pengamatan temanku ternyata dia memang murid jenius yang menjalani sistem akselerasi. Dia juga seorang model sekolah yang wajah indo-korea sukses membuat mata kaum hawa tak bisa berkedip menatapnya. Duh! Aku jadi kembali teringat di saat aku juga tak bisa berhenti untuk selalu mengikuti polah tingkahnya.
“Aku kuliah di Solo. Fisioterapi. Kita seangkat lho, aku mundur setahun jadi gak perlu panggil aku dengan sebutan kakak lagi, he….”
“Oh ya? Begitu… by the way tadi aku gak nyangka bisa ketemu lagi sama ka eh kamu, he… Ternyata sekarang jadi novelis ya? Keren! Syukur banget tadi aku ke sini jadinya bisa ikut bedah novel kamu. Aku tertarik baca sinopsis ceritanya….” aku mengangguk pura-pura mengerti padahal dalam hati berkecamuk rasa yang sedari tadi belum reda juga. “Sepertinya kisah kamu hampir mirip dengan yang aku alami, bikin aku tambah penasaran….”
Blum! Mirip gondam yang kini menekan batok kepalaku. Entah dia tidak bermaksud menyindir atau memang dia sudah tahu kalau novelku menceritakan siapa. Yang jelas sejak saat itu kami menjadi sangat dekat karena dia terus memuji novelku. Pengakuannya, dia seakan kembali saat masa-masa SMA terutama tokoh utama wanita yang persis seperti gadis yang dia suka. Aku hanya meringis karena tokoh utama wanita itu sebenarnya adalah diriku sendiri. Sempat melambungkan harapanku kalau dia sebenarnya malah menyukaiku sejak SMA. Tapi aku buru-buru sadar diri. Bagaimana mungkin anak jenius bintang sekolah itu bisa suka gadis macam aku yang tak bisa tenar dalam bidang apapun?
Lalu kami pun semakin akrab meskipun intensitas pertemuan hanya seminggu sekali. Kadang dia yang datang ke Solo atau aku yang bertandang ke Jogja agar kami bisa berdiskusi tentang novel atau materi medis. Aku sangat senang sampai suatu senja yang cerah di depan kostku dia menyatakan sesuatu yang hampir membuat system kelistrikan otakku naik berkali-kali lipat.
“Aku ingin kita menikah!” ucapnya dengan gaya khasnya yang santai dan tetap tenang.


To be continued..

2 comments :

Anna Meutia said...

waaaaaaaaaaaa upa chan!!!!!
baca cerpennya bikin cenat cenut >.<
alurnya keren, wah bentar lagi upa jadi novelis nih :D

Shirakawa Almira said...

Ceritanya emang keren dili sendili..!
makanya up posting di blog upa.. :D

tpi ini bukn tulisan up, tu ad nama penulisnya di atas :ayu rahmah hidayah.. :)