Pages

11 August 2011

Tersemat Hati buat Brondong (Cerpen : 2/2)




Penulis: Ayu Rahmah Hidayah


 

“Aku ingin kita menikah!” ucapnya dengan gaya khasnya yang santai dan tetap tenang.
“Jangan bercanda Lock! Gak lucu!” Aku terbiasa memanggilnya dengan Lock dan dia memanggilku dengan sebutan Key. Mirip teori enzim tentang kunci dan gembok yang selalu menyatu. Entah kenapa dia mencetuskan panggilan seperti itu sejak kami mulai akrab.
“Aku gak bercanda, Key. Sepuluh rius malah! Aku… aku sudah lama menyukaimu dan perasaanku semakin kuat saat membaca novel Key itu. Aku yakin itu tentang kita, kan? Aku ingin wujudkan cintaku pada jalan yang sebenarnya….”
Aku mendeliknya sekilas. Berharap terlukis senyum jahil di lengkung bibirnya yang meyakinkan aku kalau dia tak lagi bicara serius. Tapi gagal. Tampang serius yang malah kulihat. Perasaanku semakin kembang kempis antara senang dan bingung. “Ok, kuakui itu tentang kamu, Lock. Mungkin sudah saatnya aku harus jujur kalau tokoh Ado yang aku buat di novelku itu memang kamu. Aku…. aku bahagia kamu bilang perasaan kamu tapi kita gak mungkin buat nikah. Kita ini masih sama-sama kuliah, Lock. Aku masih tingkat satu pula! Aku belum siap kalau harus menikah secepat itu, ibuku gak bakal setuju!”
Baru saja aku terkejut dengan perasaan sukanya yang kunanti sejak dulu tapi aku langsung limbung ketika dia malah mengajakku menikah. Yang benar saja, aku baru saja menikmati kuliah lagi dan menjalani profesiku sebagai penulis. Tiba-tiba saja Roval yang kunobatkan sebagai cinta monyetku dulu menawarkan ikatan bernama pernikahan. Ok, aku mungkin tidak apa-apa bahkan terhitung senang tapi bagaimana dengan orang tuaku? Kuteringat orang tuanya yang sangat berharap aku serius menjalani kuliah. Apa reaksi mereka bila kubilang aku mau menikah.
“Aku akan mengatakannya pada ibu kamu, Key. Semoga mereka bisa mengerti perasaan kita. Aku sudah konsultasi tentang ini dengan ustadzku di kalam FK. Itulah yang membuatku semakin yakin menempuh cara ini. Gimana, Key?”
“Entahlah,” aku masih gamang. Mungkin kedalaman ilmu agamaku belum seperti Roval hingga aku tidak bisa mengiyakan keinginannya. Hatiku masih bingung. Dan sudah seperti yang kuduga, ibu menolak keras. Ibu bahkan memarahi Roval habis-habisan karena berusaha keras menyakinkan diri mampu mengayomi setelah pernikahan dini itu. aku hanya bisa diam tanpa berani berargumen apapun saat ibu angkat tangan dan menyerahkan semuanya padaku. Dengan sebuah konsekuensi yang sangat berat bila kumemilih salah satu. Tinggalkan Roval atau aku tidak akan dibiayai kuliah lagi. Persis seperti makan buah simalakama.
Aku mulai menyayangi Roval dan kupikir dia memang cowok yang tepat untukku tapi bagaimana kelanjutan kuliahku bila orang tuaku berhenti memberikan jatahku. Kegalauanku terbaca tentor kajian Nissa di kampusku. Dia menyodorkan sebuah buku tentang pernikahan tanpa pacaran setelah kuceritakan masalahku. Ugh! Kutolak mentah-mentah karena kuyakin akan semakin memberatkan pikiranku tapi entah kenapa kubaca juga buku manis itu. Dan hasilnya aku mengambil konsekuensi itu!
***
Tuk tuk tuk
Palu dipukulkan tiga kali yang mengakhiri sidang berat ini. Menyentakkan lamunanku hingga melewatkan keputusan hakim ketua. Kulihat Roval yang membalikkan badan dan tersenyum manis padaku. Hatiku berdesir. Jadi….
“Saya terima nikah dan kawinnya Andrisha Rahmaniar binti Hermawan dengan sepasang Al-Qur’an karim dan seperangkat alat sholat, tunai!”
“Sah saudara-saudara?”
“Sah!!”
Roval menyentuh pundakku untuk pertama kali, mungkin menyatakan bahwa ini bukan mimpi lagi. Aku menolehnya tak percaya dan kulihat dia menatap lembut tepat di bola mataku. Pandangan yang akhirnya dia tujukan dengan berani padaku. Bukannya tersipu aku malah bingung harus melakukan apa, membiarkan mataku terus berkedip tak percaya. Dia menyentuh pipiku dan kuteringat resepsi setelah akad nikah kalau aku seharusnya mencium tangan seseorang yang menjadi nahkoda hidupku kini.
Sepuluh menit kemudian aku, Roval, ibu mertuaku, dan Om Sandi keluar dari gedung pengadilan agama. Menuju mobil kembali ke kost Roval untuk mengadakan syukuran sederhana atas akad nikah kami. Roval mengenggam tanganku erat seolah mengutakan hatiku atas tantangan yang akan menanti kami. Teringat seperti apa aku akan melanjutkan kuliah dengan tanpa biaya orang tua.
“Jangan dipikirin, Key.” Roval membukakan pintu depan mobil untukku. Kami mulai melaju mengitari lalu lintas kota Jogja yang semakin padat. “Mulai sekarang aku yang akan menanggung semuanya,”
“Maksud kamu?”
Roval tersenyum manis dan kembali menyentuh pipi tembemku. “Kita kan sudah sah jadi suami istri. Jadi aku yang akan berusaha keras menjemput nafkah untuk kita berdua. Sejak masuk kuliah, aku sudah ngajar di bimbel terkenal dekat kampus. Tiga bulan yang lalu aku juga diterima jadi fotografer lepas sebuah media cetak dan sekarang aku merambah bisnis rumah makan kecil-kecilan yang belum aku tunjukkan sama Key. Alhamdulillah, tabunganku selama ini lebih dari cukup untuk membiayai kuliah kita,”
Aku menatap Roval kembali tak percaya. Sejauh inikah persiapannya?
“Roval gak mau nerima uang dari Mama lagi lho, Sha….” Suara ibu Roval di jok belakang semakin membuatku takjub dengan pribadi Roval.
“Lho, ke…kenapa bu eh Ma…?”
“Ya… dia bilang ingin belajar jadi suami yan tanggung jawab. Mama juga heran kenapa sejak kuliah dia gak pernah mau terima kiriman kami. Dan baru hari ini kebingungan Mama terjawab. Itu semua karena kamu Sha yang bikin Roval dewasa seperti ini. ngomong-ngomong kapan nih bikin cucu buat Mama?”
“Mama!!!” jeritku dan Roval hampir bersamaan. Kami pun tertawa lepas menyandingi hari cerah ini. “Kami akan konsen sama kuliah dulu kok, Mah. Jadi Dokter dan Fisioterapis dulu terus buka praktek bareng dan setelah itu baru deh, ehm.. ehm… iya kan, Sayang?” Roval mengerjap mata elangnya padaku.
Aku mencubit lenganya dengan gemas. Kemudian kami tiba di halaman kost Roval yang sangat asri. Roval kembali mengenggam tanganku dengan erat ketika memasuki ruang tamu. Tapi seketika wajah kami menegang melihat seorang duduk di dalamnya. Ayah Roval. Aku bergidik ngeri membayangkan amarah Ayahnya yang paling menentang keputusan kami. Tanpa terduga dia sudah menampar pipi Roval dengan keras. Aku terlonjak kaget tapi Roval hanya diam meski kucuran darah mulai mengalir di sela ujung bibirnya.
“Sudah Ayah bilang, jangan lakukan tindakan konyol ini. Jangan menikah sekarang!!! Kamu sudah dijodohkan sejak kecil dengan orang lain dan akan menikah setelah lulus kuliah nanti. Kenapa pula kamu malah menikahi gadis yang tidak sederajat dengan keluarga kita, hah!!?”
Roval semakin memperkuat genggaman tanganya meski sekuat tenaga coba kulepaskan. Seakan palu raksasa ingin menancap kuat di batok kepalaku mendengar kalimat ayahnya. “Jangan takut, Key. Ini baru babak baru cerita pernikahan dini kita….” Hanya itu yang sempat mampir di telingaku sebelum sebuah tamparan keras itu pun tiba-tiba mendarat di pipiku dan membuat segalanya gelap.
“Ayaaaahhh!!!”

Colomadu, 30 Maret 2011


Sumber : Annida-online.com


No comments :