Pages

18 April 2011

Saya dan Tsunami Saat Itu (Part 2)

Baca sebelumnya "Saya dan Tsunami Saat Itu (Part 1)" di http://strawberryphysician.blogspot.com/2011/03/saya-dan-tsunami-saat-itu.html


Lalu tiba-tiba saya melihat ke luar mesjid, ada kerumunan orang berjalan sambil mengusung sesuatu. Lebih jelas, saya perhatikan : ternyata yang mereka usung adalah sebuah keranda.
Saya terkejut karna saat itu saya belum bisa membayangkan, mengapa bisa sampai menelan korban. Yang saya pikirkan, air laut naik itu seperti banjir, air pelan meskipun tinggi. Tidak terbayang oleh saya air laut naiknya itu seperti ombak. Malah saya berpikir, “Wah..besok di sekolah bakal rame nih ceritanya!” Mayat tersebut ternyata dibawa ke depan toilet mesjid yang kebetulan saat itu kami sedang di depan toiletnya. Mayat tersebut ternyata anak laki-laki, mungkin masih SD. Seluruh tubuhnya pucat kekuningan. Orang tuanya menghampiri dan menangis terisak-isak. Saat itu saya pikir, betapa malang nasibnya !
Setelah beberapa jam di mesjid, kami pun pulang karena air sudah surut. Alhamdulillah rumah kami lumpurnya tidak sampai ke lutut. Alhamdulillah juga papi sempat mengunci pintu, kalau tidak mungkin lebih banyak lagi air yang masuk.  Ketika sedang membersihkan lumpur tsunami, papi bilang bahwa untuk beberapa malam ini kami akan tidur di rumah ketua RT yang jaraknya hanya beberapa rumah dari rumah kami. Kebetulan rumah pak RT itu baru siap kenduri. Jadi masih banyak kursi, periuk dan alat-alat masak yang bisa kami gunakan.
Kami tinggal di rumah pak RT selama beberapa hari. Selama beberapa hari itu, Alhamdulillah kami bisa makan 3 kali sehari meskipun menunya seragam setiap waktu : nasi & indomie. Belakangan saya baru tahu bahwa pada saat kami (orang perempuan) makan di dalam , yang laki-laki di luar tidak makan. Mungkin mereka cuma makan 1 atau 2 kali sehari. Minum harus berhemat. Tidur pun tidak nyenyak karena beberapa menit sekali gempa. Saya masih ingat waktu itu karena sebentar-sebentar gempa, kami akhirnya tidur di luar, duduk meringkuk di atas kursi plastik. Dingin, dingin sekali malam-malam itu, dan tidak ada selimut.
Tapi bukan bagian itu yang membuat saya sedih. Saya rindu. Rindu mami dan kedua adik saya di Lhokseumawe. Membayangkan mereka yang entah bagaimana nasibnya, yang mungkin juga sama takutnya seperti kami. Komunikasi putus sama sekali. Kabar-kabar yang beredar mengatakan daerah seluruh Aceh telah hancur dan porak-poranda. Saat itu saya berfikir mungkin bertemu lagi dengan mereka adalah suatu keajaiban. =’(
Beberapa hari “numpang” di rumah Pak RT, tiba-tiba kami mendapat kabar bahwa salah satu teman mami (termasuk saudara jauh saya juga) di Banda akan membantu kami pulang ke Lhokseumawe, tapi untuk beberapa hari kami harus menginap dulu di  rumah saudaranya di Blang Bintang. Jika situasi sudah memungkinkan, baru kami bisa pulang ke Lhokseumawe. Mereka juga mengatakan kalau kita pergi ke daerah yang agak tinggi di Blang Bintang, sinyal hp bisa ditemukan. Memikirkan itu  membuat saya sedikit tersenyum.
Maka berangkat lah kami ke rumah yang dimaksud. Rumah itu terletak di Blang Bintang. Karena Blang Bintang itu dataran tinggi, daerah itu aman-aman saja rumahnya, tidak ada air yang datang, mayat atau tanda-tanda bekas tsunami lainnya.
Beberapa hari menginap di sana, saya dan kakak2 saya sudah mulai bisa sedikit rileks. Gempa setiap hari memang masih ada, tapi sudah tidak sesering yang kemarin- kemarin. Tidur lebih nyenyak, makan lebih nikmat, ibadah pun lebih tenang.
Pagi itu saya dan kakak saya sedang ngobrol dengan sepupu. Tiba-tiba papi saya datang bergegas menghampiri kami. Wajah papi begitu bersemangat. Papi bilang, “Nak, tadi papi cari sinyal di tempat yang lebih tinggi, Alhamdulillah dapat ! Tadi papi udah telepon mami, Alhamdulillah semuanya selamat, rumah di Asean juga  ga papa. Dalam waktu dekat, insya Allah mami nyusul kita kemari.” Mendengar kabar itu hati saya seakan ingin melompat dari tempatnya! Saya begitu bersyukur dan lega ! :D
Beberapa hari kemudian. Sebuah mobil L300 tiba di halaman depan rumah sepupu saya yang berbatu-batu. Saya begitu menggebu-gebu, rasanya waktu mami untuk turun dari L300 begitu lama, seperti adegan slow motion. Lalu setelah sekian detik yang terasa panjang, setelah mata yang tak putus-putusnya memandang, saya melihat juga sosok itu. Seperti ditiup peluit, serentak kami bertiga berlari hendak memeluk mami. Kami peluk mami erat-erat, seperti tidak mau kami lepaskan lagi. Air mata kami mengalir, mengalir dan terus mengalir, seakan sudah begitu lama dipendam dan ingin dikeluarkan. Wajah mami sangat merah, kelihatan sekali rautnya yang  khawatir dan kelelahan.
 Setiap teringat kejadian itu, tidak pernah saya tidak menangis. Karna kejadian itu pula saya jadi lebih mengerti, keluarga itu  begitu berharga, sangat. Maka sebelum kita benar-benar kehilangan,cintailah.



“Saat itu, ku kira tak ada harapan.
Mengenangnya  menitikkan air mata, ketakutan melanda.
Dingin, dan hanya bau muak yang kurasa.

Aku juga rindu pada ia yang melahirkanku,
Juga  mereka yang datang setelahku,
Dan juga yang pergi mendahuluiku..

Tsunami 26 Desember adalah sebuah pelajaran nyata Sang Maha Besar untuk kita.
Menghadapinya adalah sebuah ujian, memaknainya adalah sebuah kelulusan.
Ya, aku memang bukan yang rangking 1. 
Namun aku cukup tahu,
Tsunami adalah sebuah PESAN untukku.”


-Sebuah negri di Tengah April




4 comments :

Muhammad Fadhil said...

klu di kenang ada lucu nya pas bencana terjadi ,,,Alhamdulillah AllAH masih memberi kita umur panjang,sehat badan & sehat akal pikiran ,,,

Shirakawa Almira said...

alhamdulillah.. :)

Suhendra Mandala Ernas said...

sayangi keluarga selagi bisaa yaa paa..karena kita tak pernah tahu kapan kita berpisah dgn mereka..

Shirakawa Almira said...

Betul su, selagi ada harus sayang dunq.. ;)